Majas Asosiasi dalam Kartun Clekit tentang Jalan Raya di Indonesia

Majas asosiasi adalah gaya bahasa yang membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Dalam majas asosiasi, digunakan kata seperti, bagai, bak, laksana. Hal yang dibandingkan adalah hal atau sesuatu yang serupa.

Misalnya, rembulan dibandingkan dengan wajah karena sama-sama indah.

Contoh Majas Asosiasi: "Wajahmu bak rembulan malam, yang menyejukkan siapapun yang memandang"

Misalnya, matahari dibandingkan dengan kasih sayang orang tua atau ibu.

Kartun Clekit Karya Wahyu Kokkang di Jawa Pos Edisi7 Februari 2017


Contoh Majas Asosiasi: "Kasih sayang ibu bagaikan matahari, selalu bersinar tiada henti.

Misalnya, kehidupan rumah tangga dibandingkan dengan pelayaran.

Contoh Majas Asosiasi: "Kehidupan rumah tangga itu seperti berlayar, ada kalanya badai datang menghadang.

Selanjutnya, majas asosiasi juga bisa digunakan tanpa menyebut langsung hal yang dibandingkan. Tetapi tanpa menggunakan kata-kata pembanding seperti, bagai, bak, dan laksana. 

Pembadingan seperti ini pernah ngetop saat kasus Cicak lawan Buaya.

Misalnya dalam kalimat:
"KPK kok mau lawan Polri, Cicak kok mau lawan buaya"

Meskipun tidak ada kata pembanding, dalam kalimat di atas jelas bahwa KPK dibandingkan dengan Cicak, atau sesuatu yang kecil sementara Polri dibandingkan dengan Buaya. Buaya jauh lebih besar dari pada cicak. 

Penggunaan majas seperti ini sudah berkembang jauh sebelum bahasa Indonesia lahir dan resmi sebagai bahasa negara. Hal ini tampak dari adanya majas serupa dalam bahasa daerah. Salah satunya bahasa Jawa.

Dala bahasa Jawa ada ungkapan, "timun kok ngelawan duren" artinya: timu kok mau melawan durian. Jadi, pihak yang lemah dianggap seperti timun yang pasti hancur melawan durian yang berkulit keras.

Dalam kartun Clekit edisi 7 Februari 2017 juga ada majas Asosiasi. Hal yang diasosiasikan adalah jalan raya di Indonesia dengan rembulan. Biasanya rembulan adalah asosiasi yang positif karena selalu dibandingkan dengan wajah yang cantik atau tampan. Tetapi dalam kartun Clekit Wahyu Kokkang, sang kreator menggunakan kondisi bulan yang dilihat dari jarak dekat, yaitu yang berlubang dan bergelombang.

Dalam kartun Clekit tersebut, digambarkan seorang astronot yang baru mendarat dan melapor kepada stasiun antariksa nasionalnya dengan berkata:

"HALO NASA, MAAF SAYA SALAH MENDARAT, INI BUKAN BULAN, TAPI JALAN RAYA DI INDONESIA!"

Nasa adalah lembaga antariksa Amerika Serikat.

Dalam kalimat yang diucapkan sang astronot, jelas bahwa keadan Jalan di Indonesia dibandingkan dengan Bulan. Berarti jalan di Indonesia diasosiasikan dengan keadaan bulan yang permukaannya merupakan kawah.

Hal ini merupakan kritikan dari Clekit mengingat jalanan di Indonesia kondisinya tidak bagus. Bahkan dalam kartun tersebut, yang disebut 'ini' oleh astronot adalah jalan yang sama sekali tidak rata dan berbatu. 

Mungkin ada yang menganggap bahwa Clekit terlalu lebay menganggap jalanan di Indonesi seperti kawah-kawah di Bulan. Tetapi kenyataannya begitu. Bukan hanya jalan di pedalaman Sumatra, kalimantan, atau Papua yang rusak. Kondisi jalan di Jawa yang katanya kota besar juga begitu. Banyak lubang. Di Jember salah satunya, bebarapa ruas jalannya bergelombang dan berlubang, padahal jalan penguhubung antar-kabupaten.

Terlepas dari hanya sekadar berisi kritik, untuk pemerintah dan untuk kita yang tidak peduli terhadap perbaikan jalan, kartun Clekit juga berisi pesan moral.

Pesan moral kartun Clekit edisi hari ini adalah:
"Jangan bangga jika ada yang menyebut kita setampan atau secantik rembulan, karena mungkin maksudnya adalah: wajah kita terlalu banyak kawah dan perbukitan. Terlalu banyak kukul alias jerawat"

Previous
Next Post »